HAKIKAT WAWANCARA DALAM PENELITIAN KUALITATIF



PDF Print E-mail
Written by Mudjia Rahardjo   

A. Pengantar
Sebagaimana diketahui, selain observasi, diskusi kelompok terpusat (focused group discussion), dan dokumentasi, wawancara atau interviu merupakan salah satu cara yang paling lazim dipakai untuk memperoleh data kualitatif. Namun  sering kali konsep dan hakikat wawancara tidak dipahami secara utuh, khususnya  oleh peneliti pemula, sehingga tujuan utamanya tidak tercapai. Secara filosofis seiring dengan perkembangan metode penelitian kualitatif, wawancara juga mengalami perkembangan makna dan konsepnya. Sajian pendek ini dimaksudkan  untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai konsep dan hakikat  wawancara serta  apa saja yang mesti disiapkan  oleh peneliti untuk melakukan wawancara tersebut. Mengenai macam-macam atau jenis wawancara telah dibahas pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif”.
B. Konsep
Wawancara pada hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh pemahaman secara holistik mengenai pandangan atau perspektif (inner perspectives) seseorang terhadap isu, tema atau topik tertentu. Dawson (2009: 27) mendefinisikan wawancara atau interviu sebagai “an attempt to achieve a holistic understanding of the interviewees’ point of view or situation”. Misalnya,
seorang peneliti pendidikan ingin mengevaluasi tujuan sebuah program pendidikan khusus anak berbakat bermaksud menggali pandangan peserta program, staf pendukung, dan orang-orang lain yang terlibat dalam program, seperti apa sebaiknya program dilakukan, apa saja pengalaman peserta program, pikiran-pikiran apa saja yang bisa diusulkan untuk mengembangkan program, yang  meliputi pelaksanaan, proses, dan hasil atau outcome program, apa saja harapan mereka, serta perubahan apa yang terjadi pada peserta setelah mengikuti program. Untuk dapat menggali semua informasi seperti itu tidak bisa dilakukan melalui observasi atau diskusi, tetapi wawancara atau interviu.
Pilihan untuk melaksanakan interviu bukan karena data yang diperoleh melalui observasi atau diskusi tidak kredibel, melainkan karena untuk memperoleh informasi mengenai perasaan, pandangan, niat atau hasrat seseorang untuk melakukan sesuatu, dan bagaimana orang tersebut memaknai suatu peristiwa atau tindakan tertentu. Karena itu, tujuan utama interviu adalah untuk menggali pandangan atau perspektif seseorang atas sesuatu walaupun sebenarnya  dia  sendiri sudah mengetahuinya, dan  interviu bukan  startegi untuk memasukkan ide ke orang lain. Malah, menurut Patton (1990: 279) wawancara atau interviu yang baik justru ketika orang yang diwawancarai  bisa  berhasil membawa pewawancara masuk dalam dunia batin orang yang diwawancarai, dan bukan sebaliknya (mempengaruhi yang diwawancarai). (The task of the interviewer is to make it possible for the person being interviewed to bring the interviewer into his or her world).
Lebih jauh menurut Hermanns (dalam Flick et al. (ed)., 2004: 211), pewawancara memang  memiliki  dua peran yang tampak kontradiktif, yaitu di satu sisi dia harus menunjukkan sikap empati dengan berupaya menjadi bagian orang yang diwawancarai (informan) untuk memahami bagaimana dia memahami dan memaknai dunia. Tetapi di sisi yang lain, pewawancara juga wajib mengembangkan cara pandang yang berbeda dengan subjek atau informan  dan bahkan bisa bersikap kritis terhadap jawaban informan. Sebab, sikap kritis sangat diperlukan oleh peneliti sebagai wujud pemahamannya.
Selain itu, walaupun jawaban sudah diberikan, pewawancara perlu meragukan makna jawaban yang diberikan tersebut. Pewawancara juga perlu menggali pra-kondisi macam apa yang ada pada subjek sehingga memberikan jawaban tertentu dengan tetap menjaga wawancara berlangsung menarik dan rileks, tanpa subjek merasa diragukan jawabannya.
Kualitas informasi yang diperoleh dari wawancara juga sangat tergantung pada pewawancaranya. Pewawancara harus mau mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh informan. Agar tidak membosankan, informasi yang diperoleh harus menarik. Menarik dan tidaknya informasi sangat tergantung pada pewawancara sendiri dan kualitas pertanyaan  yang diajukan.
Interviu dilakukan dengan asumsi bahwa pandangan orang lain ada manfaat dan gunanya, dapat diketahui dan bisa dinyatakan secara eksplisit. Agar orang yang diwawancarai atau diinterviu bisa mengungkap informasi yang diharapkan dengan tuntas, maka pewawancara perlu menciptakan suasana nyaman, yang diwawancarai tidak merasa diinterogasi, dan bisa menjawab semua pertanyaan, dengan jujur, sehingga diperoleh data yang kredibel.
C. Lima Langkah persiapan untuk melakukan wawancara
  1. Jelaskan kerangka wawancara kepada subjek yang meliputi hal-hal berikut: isu apa yang  akan dibahas, dan mengapa isu itu diangkat, untuk apa informasi digunakan, apa di balik itu, bagaimana wawancara akan dilakukan, siapa yang akan melakukan wawancara, siapa yang harus ada dalam wawancara, di mana dan berapa lama wawancara dilakukan.
  2. Ciptakan atmosfir yang baik, yang meliputi:
    1) bersikap rileks, (atau setidaknya timbulkan kesan rileks),
    2) mencoba memahami pesan lawan bicara, apapun yang disampaikan merupakan informasi bermakna.
    3) berikan lawan bicara ruang untuk mengeluarkan pandangannya, dengan cara: a. tidak menyampaikan pandangan pewancara terhadap isu yng diangkat, apalagi  dengan menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pandangan subjek. Peneliti tetap berada dalam posisi independen, apapun yang dikatakan subjek; b. memberikan kesempatan kepada subjek peluang untuk mengekspresikan ciri-ciri kepribadiannya; c. jangan membuat sesuatu yang menjadikan subjek malu, tetapi justru tunjukkan bahwa pewawancara akan memperoleh kebenaran melalui interviu yang dilakukan.
3. Berikan kesempatan wawancara untuk berkembang dengan cara:
a. menanyakan pertanyaan pendek dan mudah sehingga memungkinkan subjek mengembangkan jawaban secara mendetail
b. jangan menanyakan pertanyaan wawancara seperti pertanyaan penelitian.
Dengan kata lain, tidak menanyakan pertanyaan teoretik atau konseptual.
Cukup menanyakan hal-hal faktual yang diketahui dan dipahami subjek.
4. Gunakan bahasa yang wajar, dan berlaku dalam lingkungan di mana wawancara dilakukan,  sehingga mudah dipahami.
5. Jangan mengungkap ide atau konsep  teoretik, tetapi pandangan subjek dengan cara:
a. membiarkan subjek menjelaskan konsep, prosedur, dan situasi;
b. tidak perlu ragu untuk menanyakan hal-hal yang sepele jika memang tidak jelas
c. berusaha memahami pandangan subjek dengan baik, dan tanyakan apa saja dan jika perlu diulangi  hingga semuanya jelas.

D. Penutup
Sebagai sebuah metode, wawancara dianggap sangat handal untuk menggali data kualitatif, berupa pandangan, minat, persepsi, dan pengalaman seseorang terhadap masalah yang diteliti. Seiring dengan perkembangan metode penelitian kualitatif, wawancara juga mengalami perkembangan makna atau hakikatnya. Jika pada masa-masa awal, wawancara hanya dipakai untuk memperoleh informasi yang tidak mungkin diperoleh lewat metode yang lain, kini  wawancara mengalami perlebaran hakikat dan makna, yakni  pewawancara memiliki  dua peran yang berbeda. Pertama, dia harus menunjukkan sikap empati dengan berupaya menjadi bagian subjek, sehingga subjek bisa mengungkap semua persoalan yang ditanyakan hingga tuntas.
Kedua, dia wajib mengembangkan cara pandang yang berbeda dengan subjek  dan bahkan bisa bersikap kritis terhadap jawaban yang diberikan. Sebab, sikap kritis sangat diperlukan oleh peneliti sebagai wujud pemahamannya. Dengan bersikap kritis, peneliti tidak bertindak sebagai juru bicara subjek, --- sebagaimana ditunjukkan oleh banyak peneliti --- lebih-lebih jika lokus penelitian adalah lembaga tempat dia belajar atau bekerja. Sikap demikian sangat sulit dihindari. Peneliti adalah sebagai seorang ilmuwan atau akademisi yang melihat setiap persoalan dengan sikap objektif dengan berpedoman pada data dan perspektif teoretik terkait dengan tema yang diangkat.
_________
Malang, 15 Juni 2012
sumber
Referensi:
Dawson, Chaterine. 2009. Introduction to Research Methods: A practical guide for anyone undertaking a research project. Oxford: How to Book Ltd.
Flick, Uwe, Ernst von Kardoff and Ines Steinke (eds.). 2004. A Companion to Qualitative Research. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative evaluation and research methods (2nd ed.). Newbury Park, CA: Sage.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lab 4.2.5.5 Calculating a VLSM Addressing Scheme

Lab 7.3.3 Configuring and Testing the Rapid Spanning Tree Prototype

Lab 5.2.3 Configuring RIPv2 with VLSM, and Default Route Propagation